Follower

Rabu, 18 Juli 2012

model pembelajran GIFTS


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kita ketahui bersama bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat penting, sangat berpengaruh dalam kehidupan kita baik itu pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Pendidikan formal tidak lain ialah pendidikan yang ditempuh di sekolah-sekolah. Menurut Undang-Undang Pendidikan No.20 tahun 2004  (Hasbullah, 2005: 5) bahwa:
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta didik melalui proses pembelajaran.  Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak agar memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian, memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara.

Jadi, pendidikan dapat dimaknai sebagai proses mengubah tingkah laku anak didik agar menjadi manusia dewasa yang mampu hidup mandiri dan sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan alam sekitar dimana individu itu berada. Pendidikan tidak hanya mencakup pengembangan intelektual saja, akan tetapi lebih ditekankan pada proses pembinaan kepribadian anak didik secara menyeluruh sehingga anak menjadi lebih dewasa.
Di sekolah kita mempelajari berbagai jenis mata pelajaran, salah satunya ialah pelajaran matematika. Matematika merupakan pelajaran yang sangat berpengaruh hampir di setiap pelajaran lainnya atau dengan kata lain setiap pelajaran tidak lepas dari pelajaran matematika. Tujuan utama matematika sekolah ialah untuk menciptakan pola pikir yang logis atau sistematis dan menantang kreativitas peserta didik untuk memperoleh kemampuan dalam memecahkan masalah anak, baik pada matematika itu sendiri maupun dalam kehidupannya.
Pembelajaran matematika mengarahkan peserta didik untuk dibentuk pola pikirnya dalam memahami suatu pengertian maupun penalaran. Selain itu peserta didik  juga dibiasakan untuk memperoleh  pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek (abstraksi). Dengan adanya konsep matematika yang abstrak maka peserta didik akan dilatih untuk membuat perkiraan atau terkaan berdasarkan pada pengalaman atau pengetahuan yang dikembangkan melalui contoh-contoh khusus. Didalam proses inilah penalaran peserta didik dikembangkan pola pikir induktif dan pola pikir deduktif peserta didik. Dari uraian tersebut sangat jelas bahwa betapa pentingnya peranan pelajaran matematika dalam perkembangan kehidupan peserta didik.
Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar karena dengan belajar matematika secara tidak langsung membekali peserta didik dengan kemampuan berfikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kompetisi tersebut diperlukan agar peserta didik dapat memiliki kemampuan dalam memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Namun, hal yang terjadi pada  peserta didik kelas X.2 di MAN 2 Parepare, hasil belajar peserta didiknya masih tergolong rendah yang tidak mencapai nilai standar yang telah ditentukan oleh sekolah dimana standar KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal)  yang telah ditetapkan yaitu  70 namun nilai rata-rata dari hasil belajar  matematika peserta didik yaitu  67,5. padahal  pada dasarnya belajar matematika disekolah sudah mengalami banyak kemajuan baik itu dari cara mengajar guru maupun dari peserta didik itu sendiri. Pembelajaran yang disajikan guru sudah cukup inovatif, namun pembelajaran  yang digunakan belum sepenuhnya maksimal. Hal itu disebabkan karena peserta didik hanya mendapatkan pelajaran dari satu sumber saja yaitu guru pada saat disekolah saja, sehingga menyebabkan peserta didiknya kurang termotivasi mempelajari matematika.
Menjawab permasalahan di atas salah satu model pembelajaran yang bisa digunakan yaitu model pembelajaran the Guidance Institute for Students di singkat GIFTS setting kooperatif. Alasan peneliti memilih model pembelajaran GIFTS setting koopertif adalah karena sebelumnya peneliti pernah melakukan penelitian dengan menerapkan model pembelajaran perr tutoring, namun peserta didik yang ditunjuk menjadi seorang tutor tidak mampu membantu temannya dalam menyelesaikan permasalahan disebabkan kemampuan verbal yang kurang sehingga dirasa masih kurang efektif, hal tersebut terjadi karena pemilihan tutor hanya berdasar pada tingkat kemampuan peserta didik saja tanpa melihat karakter yang dimiliki peserta didik, apakah peserta didik tersebut mampu memberi pengetahuan dan gifted terhadap temannya.
Berbeda dengan model pembalajaran GIFTS setting kooperatif pemilihan mentor atau peserta didik yang memiliki tingkat kemampuan tinggi dipilih berdasarkan karakter dan kemampuan verbal yang dimilikinya, sehingga pembelajaran dalam kelompok bisa lebih efektif. Model GIFTS  ini mempunyai lima pendekatan yang bisa digunakan dalam pembelajaran yaitu pengelompokan kemampuan, belajar kooperatif, adaptasi kurikulum,  peer tutoring dan mentoring. Model GIFTS telah dikembangkan oleh Madison pada tahun 1979 di University of Wisconsin.  Dalam hal ini, penulis menerapkan model GIFTS dengan setting  belajar kooperatif. Menurut Pernone Karshner (Masri Kuadrat, 2009: 94)  bahwa:
Model GIFTS adalah sebuah sistem pedagogis yang bisa merevolusi pendidikan. Mungkin paling inovatif karena terdapat tujuan untuk terus meningkatkan kesadaran peserta didik bagaimana bertanggung  jawab yang ditimbulkan dari keahlian tertentu dan aktivitas yang ia lakukan tentunya sangat bemakna. Dengan model ini, peserta didik termotivasi untuk menjadi yang terbaik.

Model pembelajaran GIFTS dengan setting kooperatif  dalam pembelajaran akan melatih kemandirian peserta didik,  keterampilan berbicara, termotivasi untuk belajar dan secara tidak langsung peserta didik menyadari bagaimana kegiatan seorang guru yang sebenarnya dan yang lebih penting sumber belajar peserta didik tidak hanya pada guru saja.
      Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis termotivasi untuk mengadakan penelitian dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran the Guidance Institute for Students  Setting Kooperatif dalam Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Peserta didik Kelas X.2  MAN 2 Parepare”.

B.     Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: apakah dengan menerapkan  model pembelajaran GIFTS setting kooperatif  hasil belajar matematika dapat meningkat pada peserta didik kelas X.2 MAN 2 Parepare?




C.      Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa hasil belajar matematika dapat meningkat melalui penerapan model pembelajaran GIFTS setting kooperatif pada peserta didik kelas X.2 MAN 2 Parepare.

D.      Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian melalui model pembelajaran GIFTS setting kooperatif pada peserta didik kelas X.2 MAN 2 Parepare, sebagai berikut:
1.    Bagi Peserta didik
a.    Melatih kemandirian peserta didik, keterampilan berbicara, termotivasi untuk belajar sehingga hasil belajar peserta didik lebih meningkat.
b.    Membangun rasa tanggung jawab dan kerja sama yang baik dalam kelompok.
2.        Bagi Guru
a.   Guru dapat lebih kreatif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran matematika.
b.  Membantu guru untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik. 
3.        Bagi Sekolah
a.    Sebagai tolak ukur untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah.
b.    Dengan peningkatan hasil belajar peserta didik akan memberikan kesan yang positif bagi sekolah.
4.        Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat menambah wawasan peneliti tentang upaya yang tepat dilakukan dalam meningkatkan hasil belajar matematika peserta didik.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR

A.      Kajian Pustaka
1.    Hakikat Matematika
Pada dasarnya hakikat matematika itu bersifat abstrak. Matematika juga berupa struktur yang logis dan memerlukan kreativitas berfikir dalam penyelesaiannya. Namun, pendapat masing-masing orang berbeda mengenai hakikat matematika itu seperti apa, tergantung bagaimana caranya memandang matematika itu. Seperti kata Abraham S Lunchins dan Edith N Lunchins 1973  (Erman suherman, 2011:17)  yaitu: In short, the question what is mathematics? Maybe answered difficlly depending on when the question is answered, where it is answered, who answer it, and what is regarded as being included in mathematics.
Jadi dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pendapat seseorang tentang apa itu matematika akan berbeda-beda tergantung pada siapa yang menjawab pertanyan itu, dimana menjawabnya dan apa saja yang dipandang dari termasuk dalam matematika. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Paling (Mulyono, 2003: 252) mengemukakan bahwa:
Matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia,  suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung, dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan.

  6
Berdasarkan pendapat Paling  (Mulyono, 2003: 252) tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk menemukan jawaban atas tiap masalah yang dihadapinya manusia akan menggunakan (1) informasi yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi; (2) pengetahuan tentang bilangan, bentuk, dan ukuran; (3) kemampuan untuk menghitung dan (4) kemampuan untuk mengingat dan menggunakan hubungan-hubungan. 
Berbagai pendapat muncul tentang hakikat  matematika tersebut, dipandang dari pengetahuan dan pengalaman masing-masing yang berbeda. Dibawah ini disajikan beberapa hakikat matematika:
a.    Matematika sebagai sarana berpikir deduktif
Matematika dikenal dengan ilmu deduktif. Ini berarti proses pengerjaan matematika harus bersifat deduktif. Matematika tidak menerima generalisasi berdasarkan pengamatan ( induktif), tetapi harus berdasarkan pembuktian deduktif. Meskipun demikian untuk membantu pemikiran pada tahap-tahap permulaan seringkali kita memerlukan bantuan contoh-contoh khusus atau ilustrasi geometris.
b.    Matematika sebagai ilmu terstruktur
Matematika mempelajari tentang pola keteraturan, tentang struktur yang terorganisasikan. Hal ini dimulai dari unsur-unsur yang tidak terdefinisikan kemudian pada unsur  yang didefinisikan, ke aksioma/postulat dan akhirnya pada teorema. Konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis, dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks.
c.    Matematika sebagai Ratu dan Pelayan Ilmu
Matematika sebagai ratu atau ibunya ilmu dimaksudkan bahwa matematika adalah sebagai sumber dari ilmu yang lain dan pada perkembangannya tidak tergantung pada ilmu lain. Dengan kata lain, banyak ilmu-ilmu yang penemuan dan pengembangannya bergantung dari matematika. Sebagai contoh: banyak teori-teori dan cabang-cabang dari fisika dan kimia yang ditemukan dan dikembangkan melalui konsep kalkulus. Teori mendel pada Biologi melalui konsep pada probabilitas. Teori ekonomi melalui konsep fungsi dan sebagainya.
d.   Matematika bersifat Kuantitatif
Matematika mengembangkan konsep pengukuran, lewat pengukuran dapat diketahui dengan tepat berapa panjang. Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Kita mengetahui bahwa sebatang logam bila dipanaskan akan memanjang, tetapi tidak bisa mengatakan berapa besar pertambahan panjang logamnya.
e.    Matematika sebagai bahasa
Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang matematika baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya. Tanpa itu maka matematika hanyalah merupakan kumpulan unsur-unsur yang mati.
            Berdasarkan pendapat para ahli maka peneliti mengemukakan bahwa hakikat matematika adalah suatu  ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan ide-ide yang terstruktur dengan konsep abstrak dan merupakan suatu kegiatan yang menantang kreativitas untuk berfikir karena menggunakan penalaran deduktif dalam berfikir.
2.    Belajar Matematika
Belajar adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang agar memiliki kompetensi berupa keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat juga dipandang sebagai sebuah proses elaborasi dalam upaya pencarian makna yang dilakukan oleh individu. Proses belajar pada dasarnya dilakukan untuk meningkatkan kemampuan atau kompetensi personal.
Hintzman dalam bukunya the Psychology of Learning and Memory berpendapat bahwa belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme, baik manusia atau hewan disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut.
Belajar pada manusia merupakan suatu proses psikologis yang berlangsung  dalam interaksi aktif subjek dengan lingkungan, dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, keterampilan, sikap yang konstan/menetap. Belajar itu senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Juga belajar itu akan lebih baik, kalau subjek belajar itu mengalami atau melakukannya.
Menurut Johnson dan Rising (Suherman, 2001: 19) matematika adalah pola pikir, pola mengorganisasi, pembuktian yang logis, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas dan akurat, representasinya dengan simbol dan padat. Masih banyak lagi definisi-definisi tentang matematika, tetapi tak satupun perumusan yang dapat diterima umum.
Suherman (2003: 22) mengemukakan hakikat matematika yaitu: matematika sebagai ilmu deduktif menekankan proses pengajaran matematika harus bersifat deduktif, konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis, dan sistematis, mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks, sehingga dalam belajar matematika dibutuhkan ketekunan, keuletan, serta rasa cinta terhadap matematika. Karena materi matematika bersifat hierarkis dan terstruktur maka dalam belajar matematika, tidak boleh terputus-putus dan urutan materi harus diperhatikan. Artinya perlu mendahulukan belajar tentang konsep matematika yang mempunyai daya bantu terhadap konsep matematika yang lain.
Seperti yang dikatakan Currant dan Robbin (Suharto, 2008: 5) bahwa untuk dapat mengetahui apa matematika itu sebenarnya seorang harus mempelajari sendiri ilmu matematika itu yaitu dengan mempelajari, mengkaji, dan mengerjakan. Matematika tidak hanya berhubungan dengan bilangan serta operasi-operasi melainkan jiwa dengan unsur ruang sebagai sarana matematika yang lain yaitu yang ditunjukkan kepada hubungan, pola, bentuk, dan struktur.
Menurut Tiro (Burhanuddin, 2006: 6) matematika memiliki ciri-ciri yang hakiki yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
a.    ada unsur prima (underfinedterm);
b.    ada seperangkat postulat, definisi atau teorema yang sudah ada sebelumnya; dan
c.    semua definisi atau teorema dibuat dengan menggunakan unsur prima, postulat, definisi atau teorema.

Dari uraian tersebut, jelas bahwa hakikat matematika tidak sekadar kuantitas, tetapi lebih dititikberatkan kepada hubungan pola, bentuk, struktur, fakta, operasi dan prinsip. Sasaran kuantitas tidak banyak artinya dalam matematika. Hal ini berarti bahwa matematika itu berkenaan dengan gagasan yang berstruktur yang hubungan-hubungannya diatur secara logis, dimana konsep-konsepnya abstrak dan penalarannya deduktif.
Berdasarkan uraian para ahli, maka dapat dikatakan bahwa belajar matematika adalah belajar tentang konsep-konsep abstrak yang hierarkis dan sistematis yang kemudian memerlukan kemampuan analisis, sintesis, mengorganisir hingga pada penarikan kesimpulan.
3.    Hasil Belajar Matematika
Hasil belajar adalah hasil yang didapat seseorang yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan tingkat hasil belajar dan penguasaan materi, untuk mengukur hasil belajar harus sesuai dengan tujuan pencapaian kognitif yang disesuaikan dengan kemampuan peserta didik. Yang harus diingat, hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu aspek potensi kemanusian saja. Artinya, hasil pembelajaran yang dikategorikan oleh para pakar pendidikan sebagaimana tersebut di atas tidak dilihat secara fragmentaris atau terpisah, melainkan komprehensif.
Hasil belajar pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikimotorik, selanjunya hasil belajar dihubungkan dengan matematika adalah hasil yang diperoleh peserta didik dalam matematika yang tersusun secara berurutan, logis dari tingkat yang sederhana sampai ketingkat yang lebih sulit. Pada kegiatan pembelajaran di sekolah, peserta didik mempelajari matematika sebagai bahan pelajaran yang disajikan oleh guru. Penyajian bahan pelajaran matematika dimaksudkan agar peserta didik dapat menguasainya dengan baik. Dengan adanya penguasaan bahan pelajaran matematika itu mengakibatkan terjadinya suatu perubahan tingkah laku pada diri peserta didik berupa pengetahuan tentang matematika.
Hasil belajar peserta didik dapat diukur dengan menggunakan alat evaluasi yang biasa disebut tes hasil belajar, sedangkan hasil belajar matematika yang dikemukakan oleh Anriyasri (Sudarman, 2005:10) adalah gambaran yang diperoleh dari tes hasil belajar matematika. Selanjutnya hasil belajar matematika diartikan sebagai kemampuan seseorang mengenai materi matematika setelah melakukan kegiatan pembelajaran.
Hasil belajar merupakan suatu ukuran berhasil tidaknya seorang peserta didik dalam proses belajar mengajar, hasil belajar matematika yang dicapai oleh peserta didik dalam pelajaran matematika dapat menjadi indikator tentang kemampuan, kesanggupan, penguasaan, seseorang tentang pengetahuan, keterampilan atau sikap atau nilai yang dimiliki orang itu dalam pelajaran matematika itu sendiri, dalam kaitannya dengan usaha belajar. Hasil belajar matematika ditunjukkan oleh penguasaan yang dicapai oleh peserta didik terhadap materi yang diajarkan setelah kegiatan belajar mengajar berlangsung dalam kurung waktu tertentu.
Hasil belajar matematika adalah hasil yang dicapai peserta didik setelah belajar matematika dengan menggunakan tes standar sebagai alat ukur untuk mengetahui kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh guru di sekolah. Sesuai yang diungkapkan oleh Zakir (2008: 7) bahwa hasil belajar matematika adalah “refleksi atau gambaran terhadap apa yang telah dilakukan setelah melakukan suatu proses pembelajaran matematika”.
Hasil belajar matematika adalah tingkat pemahaman dan penguasaan yang diperoleh peserta didik berupa keterampilan kognitif, perubahan sikap dan cita-cita setelah mengikuti proses pembelajaran. Hasil belajar dalam kelas harus dapat dilaksanakan ke dalam situasi-situasi diluar sekolah. Dengan kata lain, peserta didik dapat mentransfer hasil belajar, setidak-tidaknya ditemukan 3 teori, yaitu:
a.    Teori Disiplin Formal (The Formal Dicipline Theory)
Teori ini meyatakan bahwa ingatan, sikap, pertimbangan, imajinasi, dan sebagainya dapat diperkuat melalui latihan-latihan akdemis.
b.    Teori Unsur-unsur yang Identik ( The Identical Elemene Theory)
Transfer terjadi apabila diantara dua situasi atau dua kegiatanuh terdapat unsur-unsur yang  bersamaan (identik). Latihan didalam situasi ini mempengaruhi perbuatan tingkah laku dalam situasi lainnya.
c.    Teori Generalisasi ( The Generalization Theory)
Teori ini merupakan revisi terhadap teori unsdur-unsur identik. Tetapi generalisasi menekankan kepada kompleksitas dari apa yang dipelajari. Teori ini menekankan kepada pembentukan pengertian yang dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman lain (Hamalik, 2002: 33).
Sedangkan dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis besar membaginya dalam tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotoris. Hasil belajar matematika adalah cermin dari tingkah laku penguasaan dan keterampilan peserta didik sebagai hasil kegiatan belajar matematika yang berwujud atau pujian sesuai hasil pengukuran tes yang dilakukan. Tinggi rendahnya hasil belajar matematika menunjukkan sejauh mana tingkat pemahaman peserta didik terhadap materi yang telah dipelajari.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika adalah hasil optimal atau kemampuan maksimum yang diperoleh dari suatu proses atau kegiatan yang dilakukan terhadap ilmu-ilmu logika dengan menggunaka tes sebagai alat ukur.
4.    Model Pembelajaran
Model adalah sesuatu yang menggambarkan adanya pola berpikir sebuah model biasanya menggambarkan keseluruhan konsep yang saling berkaitan. Model juga dapat dipandang sebagai upaya untuk mengkongkretkan sebuah teori sekaligus juga merupakan sebuah analogi dan representasi dari variabel-variabel yang terdapat di dalam teori tersebut.
            Model artinya pola bagaimana guru melaksanakan proses pengajaran melalui tahapan-tahapan tertentu sehingga peserta didik dapat mengikuti proses belajar secara sistematis. Menurut  Arends (1994) model pembelajaran mempunyai 4 ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi atau metode tertentu yaitu:
a.    Rasional teoritik yang logis disusun oleh perancangnya.
b.    Tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
c.    Tingkah laku mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan secara berhasil.
d.   Lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai.
Selanjutnya, Joyce, Weil dan shower (Abdul Rahman, 2010: 9) mengemukakan bahwa lima unsur penting dari suatu model pembelajaran yaitu:
a.    Sintaks
Sintaks merupakan fase-fase atau langkah-langkah kegiatan dalam suatu model yang terwujudkan dalam rangkaian kegiatan pembelajaran. Dengan demikian suatu sintaks pembelajaran akan mengindikasikan dengan jelas aktivitas yang dilakukan, baik oleh guru maupun oleh peserta didik.
b.    Sistem sosial
Sistem sosial merupakan kondisi atau situasi ataupun yang berlaku dalam suatu model pembelajaran. Dapat juga dikatakan suatu pola hubrungan komunikasi antara guru dengan peserta didik atu peserta didik dalam proses pembelajaran.
c.    Prinsip reaksi
Prinsip reaksi merupakan pola kegiatan yang menggambarkan respon guru yang wajar terhadap peserta didik, baik secara individu, kelompok maupun secara  tem,keseluruhan. Prinsip reaksi juga berkaitan dengan teknik yang diterapkan guru dalam memberi reaksi terhadap reaksi terhadap prilaku-prilaku peserta didik siswi dalam kegiatan pembelajaran, seperti bertanya, menjawab, memberi tanggapan, mengganggu teman, dan sebagainya.
d.   Sistem pendukung
Sistem pendukung suatu model pembelajaran adalah hal-hal yang dapat mendukung tercapainya tujuan pembelajaran dengan menerapkan model tersebut. Hal-hal yang dimaksud berupa sarana, bahan, perangkat, dan alat bantu media.
e.    Dampak instruksional
Dampak instruksional dalam penelitian ini adalah penguasaan bahan ajar
matematika yang berkaitan dengan pencapaian kompetensi dasar dan indikator hasil belajar sebagaimana yang direncanakan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Sedangkan dampak pengiring yang diperhatikan dalam belajar
dan sikap posotif terhadap matematika.
Jadi berdasarkan pengertian diatas peneliti menarik kesimpulan bahwa model pembelajaran adalah suatu konsep yang dibuat oleh seseorang untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran.
5.    Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif muncul ketika ada anggapan bahwa untuk belajar, seseorang harus memiliki teman atau pasangan. Pada tahun 1961, John dewey yang mengajar di Universitas Chicago menetapkan konsep pendidikan yang menyatakan bahwa kelas seharusnya cermin masyarakat yang lebih besar dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata. Guru menciptakan didalam lingkungan belajarnya suatu system sosial, memotivasi peserta didik untuk bekerja secara kooperatif, sehingga peserta didik dapat belajar prinsip demokrasi melalui interaksi antar peserta didik setiap hari.
Selanjutnya muncul David Johnson dan Roger Johnson tahun 1994, merupakan pencetus teori unggul tentang pembelajaran kooperatif, memberikan pembelajaran berdasarkan pengalaman. Belajar berdasarkan pengalaman didasarkan pada tiga asumsi bahwa belajar paling baik jika secara pribadi terlibat dalam pengalaman belajar, pengetahuan harus ditemukan sendiri sehingga lebih bermakna, dan komiten terhadap belajar paling tinggi jika tujuan pembelajaran ditentukan sendiri dan secara aktif mempelajari tujuan tersebut.
Berdasarkan perkembangan tersebut sehingga pembelajaran kooperatif atau belajar bersama (learning together) merupakan salah satu model pembelajaran yang efektif untuk ditetapkan di sekolah. Model ini melibatkan peserta didik yang bekerja dalam kelompok-kelompok beranggotakan 4 atau 5 orang secara heterogen menangani materi tertentu. Adapun langkah-langkah atau fase-fase model pembelajaran kooperatif menurut Slavin (Ibrahim, 2000: 10) yaitu:
Tabel 2.1. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif
FASE
TINGKAH LAKU GURU
Fase-1
Menyampaikan tujuan dan memotivasi peserta didik.

Fase-2
Menyajikan informasi atau materi pembelajaran.

Fase-3
Mengorganisasikan peserta didik kedalam kelompok-kelompok belajar.

Fase-4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar.


Fase-5
Evaluasi


Fase-6
Memberikan penghargaan

Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran tersebut dan memotivasi peserta didik belajar.

Guru menyajikan informasi atau materi pelajaran kepada peserta didik dengan jalan demonstrasi, lewat bahan bacaan, atau ceramah.

Guru membagi peserta didik dalam beberapa kelompok dan menjelaskan kepada peserta didik bagaimana caranya bekerjasama dalam kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar yang memerlukan bantuan atau kelompok yang mendapatkan kesulitan dalam mengerjakan tugas mereka.

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari dengan cara masing-masing kelompok mempersentase
kan hasil kerjanya.

Guru mencari cara-cara untuk mengahargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok.

6.    Model pembelajaran GIFTS setting kooperatif
a.    Pengertian model pembelajaran GIFTS setting kooperatif
Perlu untuk mendefinisikan dengan tepat apa yang dimaksud dengan gifts atau yang biasa kita kenal dengan istilah gifted. Istilah “gifts” biasa digunakan untuk menunjuk anak-anak yang menunjukkan skor yang lebih tinggi secara signifikan di atas skor rata-rata untuk tes-tes kemampuan. Gifts dapat bersifat umum, meluas ke berbagai pelajaran sekolah, atau bersifat spesifik, terbatas pada bidang tertentu seperti matematika. Murid-murid semacam ini akan meraih prestasi tinggi pada pelajaran tersebut. Dalam pembelajaran, model ini mempunyai langkah-langlah sebagai berikut :
1)   Membentuk kelompok yang anggotanya  terdiri 4 sampai 5 orang.
2)   Guru menyajikan pelajaran.
3)   Salah satu dari anggota kelompok tersebut bertindak sebagai mentor bagi teman-teman dalam kelompoknya.
4)   Anggota dapat bertanya, mentor memiliki hak untuk tidak menjawab bila dia tidak yakin akan jawabannya dan guru dapat menambahkan komentar.
5)   Pemberian evaluasi untuk melihat hasil belajar kelompoknya.
Penerapan model pembelajaran GIFTS setting kooperatif merupakan salah satu model yang dirasa cukup efektif untuk diterapkan disekolah karena dapat meningkatkan efisiensi belajar peserta didik. Beberapa keuntungan dari aplikasi Model Gifts yaitu :
1)   Meningkatkan efisien belajar.
2)   Menghindari kebosanan dalam belajar.
3)   Menghindari pengasingan dari teman-temannya yang kurang gifted.
4)   Meningkatkan efektifitas belajar.
Model pembelajaran GIFTS adalah hasil duplikasi dari model pembelajaran Peer Teaching. Dimana hal yang membedakannya adalah pada pemilihan sang mentor yaitu dengan memilih seorang mentor yang gifted yang dianggap mampu bertanggung jawab dalam memberi bantuan penjelasan kepada teman-temannya.
 Proses pembelajaran perlu mendorong peserta didik untuk mengkomunikasikan gagasan hasil kreasi dan temuannya kepada peserta didik lain, guru atau pihak-pihak lain. Dengan demikian, proses pembelajaran memungkinkan peserta didik bersosialisasi dengan menghargai perbedaan (pendapat, sikap, kemampuan, dan prestasi) dan berlatih bekerja sama. Artinya, proses pembelajaran perlu mendorong peserta didik untuk mengembangkan empatinya sehingga terjalin saling pengertian dengan menyelaraskan pengetahuan dan tindakannya.
Model GIFTS  ini mempunyai beberapa  pendekatan yang bisa dilakukan dalam pembelajaran, yaitu:
1)   Pengelompokan Kemampuan
Pengelompokan kemampuan adalah membagi peserta didik berdasarkan tingkat kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik. Peserta didik yang mempunyai kemampuan lebih cepat menerima pelajaran dipisahkan dengan peserta didik yang lambat menerima pelajaran.
2)   Belajar Kooperatif
Belajar kooperatif adalah membentuk peserta didik menjadi beberapa kelompok-
kelompok kecil yang heterogen. Dengan tujuan agar peserta didik dapat bekerja
sama dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
3)   Adaptasi Kurikulum
Adaptasi kurikulum adalah suatu proses  penyesuaian standar isi dari BSNP tanpa mengubah isi Standar Kompetensinya. Standar internasional boleh ditambahkan sebagai materi, KD , atau indikator secara tersendiri. Menyandingkan standar isi (SK dan KD) dengan kurikulum internasional pada topik/materi yang bersesuaian.
4)   Tutor sebaya (Peer Tutoring)
Pendekatan ini pada dasarnya merupakan suatu pendekatan yang bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berperan penting dalam proses pembelajaran. Maka, pendekatan ini dapat memacu proses pengembangan motivasi, kreatifitas dan keterampilan dalam menyampaikan informasi di depan teman-temannya.  Sehubungan dengan itu, pendapat mengenai tutor sebaya adalah menurut pendapat Dedy supriyadi (Erman Suherman,  2001: 233) beliau mengemukakan  bahwa tutor sebaya adalah seseorang atau beberapa orang peserta didik yang ditunjuk dan ditugaskan unutk membantu peserta didik yang mengalami kesulitan belajar. Tutor tersebut diambil dari kelompok yang presentasinya lebih tinggi.
5)   Mentoring.
Tugas mentor adalah untuk meningkatkan proses belajar yang disengaja (intentional learning), termasuk membangun kapasitas melalui metode seperti instruksi, coaching, memberikan pengalaman, modelling dan memberi saran. Mentoring adalah sebuah kerjasama. Mentoring yang sukses berarti membagi tanggung jawab untuk belajar, tanpa memperhitungkan fasilitas, materi, waktu, dan semua variable yang ada. Mentoring yang sukses dimulai dengan menentukan kontrak untuk proses belajar, dimana mentor, mentee, dan guru yang terkait ikut terlibat. Berdasarkan pengertian diatas peneliti melakukan sedikit pengembangan dalam penerapan model pembelajaran GIFTS setting  kooperatif yaitu pada tabel berikut:

Tabel.2.2. Tahap-tahap model pembelajaran GIFTS setting kooperatif yang dikembangkan oleh penulis.
Fase kooperatif
Fase model GIFTS
Aktivitas guru
Fase-3
Mengorganisasikan peserta didik kedalam kelompok-kelompok belajar.
Fase-1
Perencanaan dan Pengelompokan kemampuan
a.Guru memilih mentor berdasarkan tingkat kemampuan tertinggi.
b.Guru membentuk 5 kelompok sebanyak 4-5 orang, dimana dalam satu kelompok masing-masing ditempatkan satu orang mentor
Fase-1
Menyampaikan tuju-
an dan memotivasi peserta didik.
Pendahuluan
a.Guru menyampaikan apersepsi.
b.Guru menyampaikan tujuan pembelajaran.
c.Guru menyampaikan motivasi.
Fase-2
Menyajikan informasi atau materi pembelajaran
Fase-2
Guru menyajikan informasi
a.Guru menjelaskan materi pembelajaran.
b.Guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menanyakan kembali materi yang dimengerti kepada mentornya.
Fase-3
Mengorganisasikan peserta didik kedalam kelompok-kelompok belajar
Fase-3
Peer tutoring  dan mentoring
a.  Guru membagikan lembaran materi ajar.
b. Mentor memberi bantuan  kepada temannya hal-hal apa saja yang mereka perlu ketahui.
c.  Guru meminta mentor bertanggung jawab kepada teman kelompoknya.
d. Guru membagikan tugas pada masing-masing kelompok.
Fase-4
Membimbing kelompok bekerja dan belajar
Fase-4
Latihan terkontrol
a. Apabila ada mentor yang mengalami kesulitan dalam  kelompok, maka guru akan membantu.
b.  Guru mengawasi jalannya pelajaran.
Fase-5
Evaluasi
Fase-5
Evaluasi
Memberikan latihan secara mandiri untuk melihat hasil belajar peserta didik.

Fase-6

Memberikan penghargaan
Penutup
Guru memberikan penghargaan dengan melihat sejauh mana keberhasilan mentor dalam membantu teman kelompoknya.

Berikut ini adalah bagan penerapan model pembelajran GIFTS setting kooperatif:
Keterangan:  
Mentor : Peserta didik yang mempunyai tingkat kemampuan yang lebih tinggi
1, 2      : Peserta didik berkemampuan sedang
3, 4      : Peserta didik berkemampuan kurang





 



b.   Kekurangan dan kelebihan model pembelajaran GIFTS setting kooperatif.
Menurut Pernone Karshner (Masri Kuadrat, 2009: 94) kelebihan Model pembelajaran GIFTS setting kooperatif  yang dikembangkan oleh peneliti adalah:
1)      Meningkatkan efisien belajar.
2)      Menghindari kebosanan dalam belajar.
3)      Menghindari pengasingan dari teman-temannya yang kurang gifted.
4)      Meningkatkan efektifitas belajar.
5)      Peserta didik yang mempunyai pengetahuan di atas teman yang lain (mentor), akan lebih mampu mentransfer pengetahuannya kepada sesama teman dan
melatih peserta didik untuk menjadi pengajar yang baik.
6)      Peserta didik dapat lebih mudah memahami materi, karena keadaan kelas reguler dapat diminimalisir.
7)      Peserta didik yang bertindak sebagai mentor, dengan adanya metode ini akan semakin meningkatkan pemahaman peserta didik tersebut akan materi yang ada.
8)      Peserta didik yang bertindak sebagai mentor akan terlatih kemampuan verbalnya.
Menurut  Nur Yasser (2011: 49) yang sebelumnya pernah menggunakan model pembelajaran  GIFTS setting kooperatif, menemukan beberapa kendala yaitu:
1)      Metode ini banyak menyita waktu, namun dapat diminimalisir oleh perencanaan yang tepat oleh guru.
2)      Membutuhkan kesadaran diri peserta didik.
3)      Peserta didik yang bertindak sebagai mentor bisa saja mendapat perlakuan yang kurang baik dari temannya, namun hal itu dapat di kontrol oleh guru.
4)      Tidak semua guru mau menerapkan metode ini, karena banyaknya tahap-tahap yang harus dilalui.
c.    Kaitan antara model GIFTS dengan pembelajaran matematika.

Model GIFTS dengan pembelajaran matematika memliki keterkaitan dalam pembelajaran matematika yaitu pada hasil belajar dan aktivitas peserta didik. Dengan menerapkan model pembelajaran GIFTS setting kooperatif maka diharapkan agar masalah yang timbul dalam pembelajaran matematika dapat diatasi karena model GIFTS setting kooperatif, merupakan solusi yang peneliti rasa paling tepat sehingga nantinya diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik.
Model pembelajaran GIFTS setting kooperatif diterapkan dalam pembelajaran agar peserta didik dapat memaksimalkan potensi akdemiknya atau mengoptimalkan struktur kognitfnya dalam membangun/mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri, dengan demikian memori jangka pendek dan memori jangka panjang akan bekerja secara simultan dan bersinergi, sehingga akan diperoleh retensi yang sangat baik, yang terminalnya tentu saja dapat memperbaiki kualitas pembelajaran matematika.

B.  Kerangka Berpikir
Dalam proses pembelajaran matematika, ketika suasana pembelajaran tidak menyenangkan, kurangnya peran serta peserta didik dalam proses pembelajaran dan kurangnya tanggung jawab peserta didik dalam mengikuti pembelajaran, maka tentunya akan timbul masalah yang berujung pada kurang maksimalnya pencapaian hasil belajar peserta didik yaitu hasil belajar peserta didik rendah. Dengan demikian, untuk mengatasi masalah tersebut tentunya diperlukan suatu penelitian tindakan kelas agar dalam  pembelajaran akan tercipta suasana belajar yang menyenangkan dan dapat meningkatkan keaktifan peserta didik selama proses pembelajaran.
Salah satu solusinya yaitu dengan menerapkan model pembelajaran GIFTS setting kooperatif. Dalam menerapkan model pembelajaran GIFTS setting kooperatif guru mula-mula memilih peserta didik berdasarkan tingkat kemampuannya. Kemudian guru membentuk kelompok dimana masing-masing untuk setiap satu kelompok ditempatkan masing-masing satu mentor yang bertujuan untuk membantu teman kelompoknya yang mengalami kesulitan dalam memahami materi. Dalam penerapkan model pembelajaran ini guru akan membentuk suasana belajar kelompok yang santai dan memacu proses pengembangan motivasi, kreatifitas dan keterampilan dalam menyampaikan informasi di depan teman-temannya sehingga proses pembelajaran terasa lebih santai dan menyenangkan sehingga dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik.
Skema Kerangka Berpikir Peneliti



C.      Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka berpikir yang diuraikan, maka rumusan hipotesisnya sebagai berikut: “jika diterapkan model  pembelajaran GIFTS  (The Guidance Institute For Students) dengan setting koooperatif  maka hasil belajar matematika peserta didik kelas X.2 MAN 2 Parepare dapat meningkat”.

RIWAYAT HIDUP

Ana mardiana, lahir pada tanggal 02 Juli 1990 di desa Masolo 1, Kabupaten pinrang. Anak ke ke empat dari enam bersauadara, buah hati dari pasangan sederhana ayah Muhammad Thahir Moha dan Ibu Sumiara. Adapun jenjang pendidikan yang pernah penulis lalui adalah: Alumni Sekolah Dasar di MI DDI  Masolo 1 pada tahun ajaran 1996/1997 dan tamat pada tahun ajaran 2002/2003. Kemudian melanjutkan jenjang pendidikan di SLTPN 1 Leppangeng pada tahun 2003 dan selesai pada tahun 2005. Kemudian penulis masih melanjutkan pendidikan di MAN Pinrang pada tahun 2005 dan mengambil program IPA dan selasai pada tahun 2008. Semasa SMA Penulis juga aktif dalam organisai sekolah seperti pramuka, TIM redaksi mading dan KIR (Kelompok Ilmiah Remaja), dan organisasi luar sekolah seperti Organisasi Pencinta Alam. Selanjutnya penulis melanjutkan jenjang pendidikan di Universitas Muhammadiyah Parepare (UMPAR) pada tahun 2008 pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Study Matematika, Program Strata Satu (S1) kependidikan. Dan alhamdulillah sekarang ini telah berhasil menyusun tugas akhir dengan judul ”Penerapan model pembelajaran GIFTS setting Kooperatif dalam meningkatkan hasil belajar matematika peserta didik kelas X.2 MAN 2 Parepare” sebagai prasyarat guna mendapat gelar sarjana.






1 komentar: