BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita ketahui bersama bahwa
pendidikan merupakan hal yang sangat penting, sangat berpengaruh dalam
kehidupan kita baik itu pendidikan formal maupun pendidikan non formal.
Pendidikan formal tidak lain ialah pendidikan yang ditempuh di sekolah-sekolah. Menurut Undang-Undang Pendidikan No.20 tahun 2004 (Hasbullah, 2005: 5) bahwa:
Pendidikan merupakan usaha
sadar dan terencana untuk mengembangkan segala potensi yang dimiliki peserta
didik melalui proses pembelajaran. Pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak
agar memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, berkepribadian,
memiliki kecerdasan, berakhlak mulia, serta memiliki keterampilan yang
diperlukan sebagai anggota masyarakat dan warga negara.
Jadi, pendidikan dapat dimaknai sebagai proses mengubah
tingkah laku anak didik agar menjadi manusia dewasa yang mampu hidup mandiri
dan sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan alam sekitar dimana individu
itu berada. Pendidikan tidak hanya mencakup pengembangan intelektual saja, akan
tetapi lebih ditekankan pada proses pembinaan kepribadian anak didik secara
menyeluruh sehingga anak menjadi lebih dewasa.
Di sekolah kita mempelajari berbagai jenis mata
pelajaran, salah satunya ialah pelajaran matematika. Matematika merupakan
pelajaran yang sangat berpengaruh hampir di setiap pelajaran lainnya atau
dengan kata lain setiap pelajaran tidak lepas dari pelajaran matematika. Tujuan
utama matematika sekolah ialah untuk menciptakan pola pikir yang logis atau
sistematis dan menantang kreativitas peserta didik untuk memperoleh kemampuan dalam memecahkan
masalah anak, baik
pada matematika itu sendiri maupun dalam kehidupannya.
Pembelajaran matematika mengarahkan peserta didik
untuk dibentuk pola pikirnya dalam memahami suatu pengertian maupun penalaran.
Selain itu peserta didik juga dibiasakan
untuk memperoleh pemahaman melalui
pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari
sekumpulan objek (abstraksi). Dengan adanya konsep matematika yang abstrak maka
peserta didik akan dilatih untuk membuat perkiraan atau terkaan berdasarkan
pada pengalaman atau pengetahuan yang dikembangkan melalui contoh-contoh
khusus. Didalam proses inilah penalaran peserta didik dikembangkan pola pikir
induktif dan pola pikir deduktif peserta didik. Dari uraian tersebut sangat jelas bahwa
betapa pentingnya peranan pelajaran matematika dalam perkembangan kehidupan peserta didik.
Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari
sekolah dasar karena dengan belajar matematika secara tidak
langsung membekali peserta didik
dengan kemampuan berfikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif,
serta kemampuan bekerjasama. Kompetisi tersebut diperlukan agar peserta didik
dapat memiliki kemampuan dalam memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada
keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Namun, hal yang terjadi pada peserta didik kelas X.2 di MAN 2 Parepare,
hasil belajar peserta didiknya masih tergolong rendah yang tidak mencapai nilai
standar yang telah ditentukan oleh sekolah dimana standar KKM (Kriteria Ketuntasan
Minimal) yang telah ditetapkan yaitu
70 namun nilai rata-rata
dari hasil belajar matematika peserta
didik yaitu 67,5. padahal pada dasarnya belajar matematika disekolah
sudah mengalami banyak kemajuan baik itu dari cara mengajar guru maupun dari peserta
didik itu sendiri. Pembelajaran yang disajikan guru sudah cukup inovatif, namun
pembelajaran yang digunakan belum
sepenuhnya maksimal. Hal itu disebabkan karena peserta didik hanya mendapatkan
pelajaran dari satu sumber saja yaitu guru pada saat disekolah saja, sehingga
menyebabkan peserta didiknya kurang termotivasi mempelajari matematika.
Menjawab permasalahan di
atas salah satu model pembelajaran yang bisa digunakan yaitu model
pembelajaran the Guidance Institute for Students di singkat GIFTS
setting kooperatif. Alasan peneliti memilih model pembelajaran GIFTS setting
koopertif adalah karena sebelumnya peneliti pernah melakukan penelitian dengan
menerapkan model pembelajaran perr
tutoring, namun peserta didik yang ditunjuk menjadi seorang tutor tidak
mampu membantu temannya dalam menyelesaikan permasalahan disebabkan kemampuan
verbal yang kurang sehingga dirasa masih kurang efektif, hal tersebut terjadi
karena pemilihan tutor hanya berdasar pada tingkat kemampuan peserta didik saja
tanpa melihat karakter yang dimiliki peserta didik, apakah peserta didik
tersebut mampu memberi pengetahuan dan gifted
terhadap temannya.
Berbeda dengan
model pembalajaran GIFTS setting kooperatif pemilihan mentor atau peserta didik
yang memiliki tingkat kemampuan tinggi dipilih berdasarkan karakter dan
kemampuan verbal yang dimilikinya, sehingga pembelajaran dalam kelompok bisa lebih
efektif. Model GIFTS ini mempunyai lima pendekatan yang bisa digunakan dalam pembelajaran yaitu pengelompokan
kemampuan, belajar kooperatif, adaptasi kurikulum, peer
tutoring dan mentoring. Model GIFTS
telah dikembangkan oleh Madison pada tahun 1979 di University of Wisconsin. Dalam hal ini, penulis menerapkan model GIFTS dengan setting belajar kooperatif. Menurut Pernone Karshner (Masri Kuadrat, 2009: 94) bahwa:
Model
GIFTS adalah sebuah sistem pedagogis yang bisa
merevolusi pendidikan. Mungkin paling inovatif karena terdapat tujuan untuk
terus meningkatkan kesadaran peserta didik bagaimana bertanggung jawab yang ditimbulkan dari keahlian tertentu dan
aktivitas yang ia lakukan tentunya sangat bemakna. Dengan model ini, peserta didik termotivasi untuk menjadi yang terbaik.
Model pembelajaran GIFTS dengan setting kooperatif dalam pembelajaran akan
melatih kemandirian peserta didik, keterampilan berbicara, termotivasi untuk
belajar dan secara tidak langsung peserta didik menyadari bagaimana kegiatan
seorang guru yang sebenarnya dan yang lebih penting
sumber belajar peserta didik tidak hanya pada guru saja.
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas maka penulis termotivasi untuk mengadakan penelitian dengan
judul “Penerapan Model Pembelajaran the Guidance Institute for Students Setting Kooperatif dalam Meningkatkan Hasil
Belajar Matematika Peserta didik Kelas X.2 MAN 2 Parepare”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai
berikut: apakah dengan menerapkan model pembelajaran
GIFTS setting kooperatif hasil belajar
matematika dapat meningkat pada peserta didik kelas X.2 MAN 2
Parepare?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa hasil belajar
matematika dapat meningkat melalui penerapan model pembelajaran GIFTS setting kooperatif pada peserta didik kelas X.2 MAN 2 Parepare.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari hasil penelitian
melalui model pembelajaran GIFTS setting kooperatif pada peserta didik kelas X.2 MAN 2
Parepare, sebagai berikut:
1.
Bagi Peserta didik
a.
Melatih kemandirian peserta didik, keterampilan berbicara,
termotivasi untuk belajar sehingga hasil belajar peserta
didik lebih meningkat.
b.
Membangun rasa tanggung jawab dan kerja sama yang baik dalam kelompok.
2.
Bagi Guru
a.
Guru dapat lebih kreatif dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran
matematika.
b.
Membantu guru untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik.
3.
Bagi Sekolah
a.
Sebagai tolak ukur untuk lebih meningkatkan kualitas pendidikan di
sekolah.
b.
Dengan peningkatan hasil belajar peserta didik akan memberikan kesan
yang positif bagi sekolah.
4.
Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat
menambah wawasan peneliti tentang upaya yang tepat dilakukan dalam meningkatkan
hasil belajar matematika peserta didik.
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A.
Kajian Pustaka
1. Hakikat Matematika
Pada dasarnya hakikat matematika itu bersifat
abstrak. Matematika juga berupa struktur yang logis dan memerlukan kreativitas
berfikir dalam penyelesaiannya. Namun, pendapat masing-masing orang berbeda
mengenai hakikat matematika itu seperti apa, tergantung bagaimana caranya
memandang matematika itu. Seperti kata Abraham S Lunchins dan Edith N Lunchins
1973 (Erman suherman, 2011:17) yaitu: In
short, the question what is mathematics? Maybe answered difficlly depending on
when the question is answered, where it is answered, who answer it, and what is
regarded as being included in mathematics.
Jadi dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
pendapat seseorang tentang apa itu matematika akan berbeda-beda tergantung pada
siapa yang menjawab pertanyan itu, dimana menjawabnya dan apa saja yang
dipandang dari termasuk dalam matematika. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Paling
(Mulyono, 2003: 252) mengemukakan bahwa:
Matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban
terhadap masalah yang dihadapi manusia, suatu cara menggunakan informasi, menggunakan
pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang
menghitung, dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu
sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan.
6
|
Berbagai pendapat muncul tentang hakikat matematika tersebut, dipandang dari
pengetahuan dan pengalaman masing-masing yang berbeda. Dibawah ini disajikan
beberapa hakikat matematika:
a.
Matematika sebagai sarana berpikir deduktif
Matematika dikenal
dengan ilmu deduktif. Ini berarti proses pengerjaan matematika harus bersifat
deduktif. Matematika tidak menerima generalisasi berdasarkan pengamatan ( induktif), tetapi
harus berdasarkan pembuktian deduktif. Meskipun demikian untuk membantu
pemikiran pada tahap-tahap permulaan seringkali kita memerlukan bantuan
contoh-contoh khusus atau ilustrasi geometris.
b.
Matematika sebagai ilmu terstruktur
Matematika mempelajari tentang pola keteraturan, tentang
struktur yang terorganisasikan. Hal ini dimulai dari unsur-unsur yang tidak terdefinisikan
kemudian pada unsur yang
didefinisikan, ke aksioma/postulat dan akhirnya pada teorema. Konsep-konsep
matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis, dan sistematis
mulai dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling
kompleks.
c.
Matematika sebagai Ratu dan Pelayan Ilmu
Matematika
sebagai ratu atau ibunya ilmu dimaksudkan bahwa matematika adalah sebagai
sumber dari ilmu yang lain dan pada perkembangannya tidak tergantung pada ilmu
lain. Dengan
kata lain, banyak ilmu-ilmu yang penemuan dan pengembangannya bergantung dari
matematika. Sebagai contoh: banyak teori-teori dan cabang-cabang dari fisika
dan kimia yang ditemukan dan dikembangkan melalui konsep kalkulus. Teori mendel
pada Biologi melalui konsep pada probabilitas. Teori ekonomi melalui konsep
fungsi dan sebagainya.
d. Matematika bersifat Kuantitatif
Matematika mengembangkan
konsep pengukuran, lewat pengukuran dapat diketahui dengan tepat berapa panjang. Bahasa verbal hanya
mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Kita mengetahui bahwa
sebatang logam bila dipanaskan akan memanjang, tetapi tidak bisa mengatakan
berapa besar pertambahan panjang logamnya.
e.
Matematika sebagai
bahasa
Matematika adalah bahasa yang melambangkan
serangkaian makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan. Lambang-lambang
matematika baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya. Tanpa
itu maka matematika hanyalah merupakan kumpulan unsur-unsur yang mati.
Berdasarkan pendapat para ahli maka peneliti mengemukakan bahwa hakikat
matematika adalah suatu ilmu pengetahuan
yang berkenaan dengan ide-ide yang terstruktur dengan konsep abstrak dan merupakan
suatu kegiatan yang menantang kreativitas untuk berfikir karena menggunakan
penalaran deduktif dalam berfikir.
2. Belajar Matematika
Belajar adalah kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang agar memiliki kompetensi berupa keterampilan dan pengetahuan yang
diperlukan. Belajar dapat juga dipandang sebagai sebuah proses elaborasi dalam
upaya pencarian makna yang dilakukan oleh individu. Proses belajar pada
dasarnya dilakukan untuk meningkatkan kemampuan atau kompetensi personal.
Hintzman dalam bukunya the Psychology of Learning and Memory berpendapat bahwa belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme, baik
manusia atau hewan disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah
laku organisme tersebut.
Belajar pada manusia merupakan suatu proses
psikologis yang berlangsung dalam
interaksi aktif subjek dengan lingkungan, dan menghasilkan perubahan-perubahan
dalam pengetahuan, keterampilan, sikap yang konstan/menetap. Belajar itu senantiasa merupakan perubahan
tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan
membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Juga belajar itu
akan lebih baik, kalau subjek belajar itu mengalami atau melakukannya.
Menurut Johnson dan Rising (Suherman, 2001:
19) matematika adalah pola pikir, pola mengorganisasi, pembuktian yang logis,
matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan
cermat, jelas dan akurat, representasinya dengan simbol dan padat. Masih banyak
lagi definisi-definisi tentang matematika, tetapi tak satupun perumusan yang
dapat diterima umum.
Suherman (2003: 22) mengemukakan hakikat
matematika yaitu: matematika sebagai ilmu deduktif menekankan proses pengajaran
matematika harus bersifat deduktif, konsep-konsep matematika tersusun secara
hierarkis, terstruktur, logis, dan sistematis, mulai dari konsep yang paling
sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks, sehingga dalam belajar
matematika dibutuhkan ketekunan, keuletan, serta rasa cinta terhadap
matematika. Karena materi matematika bersifat hierarkis dan terstruktur maka
dalam belajar matematika, tidak boleh terputus-putus dan urutan materi harus
diperhatikan. Artinya perlu mendahulukan belajar tentang konsep matematika yang
mempunyai daya bantu terhadap konsep matematika yang lain.
Seperti yang dikatakan Currant dan Robbin
(Suharto, 2008: 5) bahwa untuk dapat mengetahui apa matematika itu sebenarnya
seorang harus mempelajari sendiri ilmu matematika itu yaitu dengan mempelajari,
mengkaji, dan mengerjakan. Matematika tidak hanya berhubungan dengan bilangan
serta operasi-operasi melainkan jiwa dengan unsur ruang sebagai sarana
matematika yang lain yaitu yang ditunjukkan kepada hubungan, pola, bentuk, dan
struktur.
Menurut Tiro (Burhanuddin, 2006: 6) matematika
memiliki ciri-ciri yang hakiki yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
a.
ada unsur prima (underfinedterm);
b.
ada seperangkat postulat, definisi atau teorema yang
sudah ada sebelumnya; dan
c.
semua definisi atau teorema dibuat dengan menggunakan
unsur prima, postulat, definisi atau teorema.
Dari uraian
tersebut, jelas bahwa hakikat matematika tidak sekadar kuantitas, tetapi lebih
dititikberatkan kepada hubungan pola, bentuk, struktur, fakta, operasi dan
prinsip. Sasaran kuantitas tidak banyak artinya dalam matematika. Hal ini
berarti bahwa matematika itu berkenaan dengan gagasan yang berstruktur yang
hubungan-hubungannya diatur secara logis, dimana konsep-konsepnya abstrak dan
penalarannya deduktif.
Berdasarkan uraian para ahli, maka dapat dikatakan bahwa belajar
matematika adalah belajar tentang konsep-konsep abstrak yang hierarkis dan sistematis
yang kemudian memerlukan kemampuan analisis, sintesis, mengorganisir hingga
pada penarikan kesimpulan.
3. Hasil Belajar Matematika
Hasil
belajar adalah hasil yang didapat seseorang yang ditandai dengan adanya
perubahan pada diri seseorang. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan tingkat
hasil belajar dan penguasaan materi, untuk mengukur hasil belajar harus sesuai
dengan tujuan pencapaian kognitif yang disesuaikan dengan kemampuan peserta
didik. Yang
harus diingat, hasil belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan
hanya salah satu aspek potensi kemanusian saja. Artinya, hasil pembelajaran
yang dikategorikan oleh para pakar pendidikan sebagaimana tersebut di atas
tidak dilihat secara fragmentaris atau terpisah, melainkan komprehensif.
Hasil belajar pada hakikatnya adalah perubahan
tingkah laku yang menyangkut kognitif, afektif, dan psikimotorik, selanjunya
hasil belajar dihubungkan dengan matematika adalah hasil yang diperoleh peserta
didik dalam matematika yang tersusun secara berurutan, logis dari tingkat yang
sederhana sampai ketingkat yang lebih sulit. Pada kegiatan pembelajaran di
sekolah, peserta didik mempelajari matematika sebagai bahan pelajaran yang
disajikan oleh guru. Penyajian bahan pelajaran matematika dimaksudkan agar
peserta didik dapat menguasainya dengan baik. Dengan adanya penguasaan bahan
pelajaran matematika itu mengakibatkan terjadinya suatu perubahan tingkah laku
pada diri peserta didik berupa pengetahuan tentang matematika.
Hasil belajar peserta didik dapat diukur dengan menggunakan alat
evaluasi yang biasa disebut tes hasil belajar, sedangkan hasil belajar
matematika yang dikemukakan oleh Anriyasri (Sudarman, 2005:10) adalah gambaran
yang diperoleh dari tes hasil belajar matematika. Selanjutnya hasil belajar
matematika diartikan sebagai kemampuan seseorang mengenai materi matematika
setelah melakukan kegiatan pembelajaran.
Hasil belajar
merupakan suatu ukuran berhasil tidaknya seorang peserta didik dalam proses
belajar mengajar, hasil belajar matematika yang dicapai oleh peserta didik
dalam pelajaran matematika dapat menjadi indikator tentang kemampuan,
kesanggupan, penguasaan, seseorang tentang pengetahuan, keterampilan atau sikap
atau nilai yang dimiliki orang itu dalam pelajaran matematika itu sendiri,
dalam kaitannya dengan usaha belajar. Hasil belajar matematika ditunjukkan oleh
penguasaan yang dicapai oleh peserta didik terhadap materi yang diajarkan
setelah kegiatan belajar mengajar berlangsung dalam kurung waktu tertentu.
Hasil
belajar matematika adalah hasil yang dicapai peserta didik setelah belajar
matematika dengan menggunakan tes standar sebagai alat ukur untuk mengetahui
kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh guru
di sekolah. Sesuai yang diungkapkan oleh Zakir (2008: 7) bahwa hasil belajar
matematika adalah “refleksi atau gambaran terhadap apa yang telah dilakukan
setelah melakukan suatu proses pembelajaran matematika”.
Hasil belajar matematika adalah tingkat
pemahaman dan penguasaan yang diperoleh peserta didik berupa keterampilan
kognitif, perubahan sikap dan cita-cita setelah mengikuti proses pembelajaran. Hasil belajar dalam
kelas harus dapat dilaksanakan ke dalam situasi-situasi diluar sekolah. Dengan
kata lain, peserta didik dapat mentransfer hasil belajar, setidak-tidaknya
ditemukan 3 teori, yaitu:
a. Teori Disiplin Formal (The Formal Dicipline Theory)
Teori ini meyatakan bahwa ingatan, sikap, pertimbangan, imajinasi, dan
sebagainya dapat diperkuat melalui latihan-latihan akdemis.
b. Teori Unsur-unsur yang
Identik ( The Identical Elemene Theory)
Transfer terjadi apabila diantara dua situasi atau dua
kegiatanuh terdapat unsur-unsur yang
bersamaan (identik). Latihan didalam situasi ini mempengaruhi perbuatan
tingkah laku dalam situasi lainnya.
c. Teori Generalisasi ( The Generalization Theory)
Teori ini merupakan revisi terhadap teori unsdur-unsur
identik. Tetapi generalisasi menekankan kepada kompleksitas dari apa yang
dipelajari. Teori ini menekankan kepada pembentukan pengertian yang dihubungkan
dengan pengalaman-pengalaman lain (Hamalik, 2002: 33).
Sedangkan dalam sistem pendidikan nasional
rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instruksional,
menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis
besar membaginya dalam tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan
ranah psikomotoris. Hasil belajar matematika adalah
cermin dari tingkah laku penguasaan dan keterampilan peserta didik sebagai
hasil kegiatan belajar matematika yang berwujud atau pujian sesuai hasil
pengukuran tes yang dilakukan. Tinggi rendahnya hasil belajar matematika
menunjukkan sejauh mana tingkat pemahaman peserta didik terhadap materi yang
telah dipelajari.
Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
matematika adalah hasil optimal atau kemampuan maksimum yang diperoleh dari
suatu proses atau kegiatan yang dilakukan terhadap ilmu-ilmu logika dengan menggunaka tes
sebagai alat ukur.
4. Model Pembelajaran
Model adalah sesuatu yang menggambarkan
adanya pola berpikir sebuah model biasanya menggambarkan keseluruhan konsep
yang saling berkaitan. Model juga dapat dipandang sebagai upaya untuk
mengkongkretkan sebuah teori sekaligus juga merupakan sebuah analogi dan
representasi dari variabel-variabel yang terdapat di dalam teori tersebut.
Model artinya pola bagaimana guru melaksanakan proses pengajaran melalui
tahapan-tahapan tertentu sehingga peserta didik dapat mengikuti proses belajar
secara sistematis. Menurut Arends (1994)
model pembelajaran mempunyai 4 ciri khusus yang tidak dimiliki oleh strategi
atau metode tertentu yaitu:
a.
Rasional
teoritik yang logis disusun oleh perancangnya.
b.
Tujuan
pembelajaran yang akan dicapai.
c.
Tingkah laku
mengajar yang diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan secara
berhasil.
d.
Lingkungan
belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran itu dapat tercapai.
Selanjutnya,
Joyce, Weil dan shower (Abdul Rahman, 2010: 9) mengemukakan bahwa lima unsur
penting dari suatu model pembelajaran yaitu:
a. Sintaks
Sintaks merupakan fase-fase atau langkah-langkah
kegiatan dalam suatu model yang terwujudkan dalam rangkaian kegiatan
pembelajaran. Dengan demikian suatu sintaks pembelajaran akan mengindikasikan
dengan jelas aktivitas yang dilakukan, baik oleh guru maupun oleh peserta didik.
b. Sistem sosial
Sistem sosial merupakan kondisi atau situasi
ataupun yang berlaku dalam suatu model pembelajaran. Dapat juga dikatakan suatu
pola hubrungan komunikasi antara guru dengan peserta didik atu peserta didik
dalam proses pembelajaran.
c. Prinsip reaksi
Prinsip reaksi merupakan pola kegiatan yang
menggambarkan respon guru yang wajar terhadap peserta didik, baik secara
individu, kelompok maupun secara tem,keseluruhan.
Prinsip reaksi juga berkaitan dengan teknik yang diterapkan guru dalam memberi
reaksi terhadap reaksi terhadap prilaku-prilaku peserta didik siswi dalam
kegiatan pembelajaran, seperti bertanya, menjawab, memberi tanggapan,
mengganggu teman, dan sebagainya.
d. Sistem pendukung
Sistem pendukung suatu model pembelajaran adalah
hal-hal yang dapat mendukung tercapainya tujuan pembelajaran dengan menerapkan
model tersebut. Hal-hal yang dimaksud berupa sarana, bahan, perangkat, dan alat
bantu media.
e. Dampak
instruksional
Dampak instruksional dalam penelitian ini adalah
penguasaan bahan ajar
matematika yang berkaitan dengan pencapaian
kompetensi dasar dan indikator hasil belajar sebagaimana yang direncanakan
dalam rencana pelaksanaan pembelajaran. Sedangkan dampak pengiring yang
diperhatikan dalam belajar
dan sikap posotif terhadap matematika.
Jadi berdasarkan
pengertian diatas peneliti menarik kesimpulan bahwa model pembelajaran adalah
suatu konsep yang dibuat oleh seseorang untuk menyelesaikan suatu permasalahan
yang dihadapi dalam pembelajaran.
5. Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif muncul ketika ada anggapan bahwa untuk belajar,
seseorang harus memiliki teman atau pasangan. Pada tahun 1961, John dewey yang
mengajar di Universitas Chicago menetapkan konsep pendidikan yang menyatakan
bahwa kelas seharusnya cermin masyarakat yang lebih besar dan berfungsi sebagai
laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata. Guru menciptakan didalam
lingkungan belajarnya suatu system sosial, memotivasi peserta didik untuk
bekerja secara kooperatif, sehingga peserta didik dapat belajar prinsip
demokrasi melalui interaksi antar peserta didik setiap hari.
Selanjutnya muncul David
Johnson dan Roger Johnson tahun 1994, merupakan pencetus teori unggul tentang
pembelajaran kooperatif, memberikan pembelajaran berdasarkan pengalaman. Belajar
berdasarkan pengalaman didasarkan pada tiga asumsi bahwa belajar paling baik
jika secara pribadi terlibat dalam pengalaman belajar, pengetahuan harus
ditemukan sendiri sehingga lebih bermakna, dan komiten terhadap belajar paling
tinggi jika tujuan pembelajaran ditentukan sendiri dan secara aktif mempelajari
tujuan tersebut.
Berdasarkan perkembangan
tersebut sehingga pembelajaran kooperatif atau belajar bersama (learning
together) merupakan salah satu model pembelajaran yang efektif untuk
ditetapkan di sekolah. Model ini melibatkan peserta didik yang bekerja dalam
kelompok-kelompok beranggotakan 4 atau 5 orang secara heterogen menangani
materi tertentu. Adapun langkah-langkah atau fase-fase model pembelajaran
kooperatif menurut Slavin (Ibrahim, 2000: 10) yaitu:
Tabel 2.1. Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif
FASE
|
TINGKAH LAKU
GURU
|
Fase-1
Menyampaikan
tujuan dan memotivasi peserta didik.
Fase-2
Menyajikan
informasi atau materi pembelajaran.
Fase-3
Mengorganisasikan
peserta didik kedalam kelompok-kelompok belajar.
Fase-4
Membimbing
kelompok bekerja dan belajar.
Fase-5
Evaluasi
Fase-6
Memberikan
penghargaan
|
Guru
menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin dicapai pada pembelajaran
tersebut dan memotivasi peserta didik belajar.
Guru menyajikan
informasi atau materi pelajaran kepada peserta didik dengan jalan
demonstrasi, lewat bahan bacaan, atau ceramah.
Guru membagi peserta
didik dalam beberapa kelompok dan menjelaskan kepada peserta didik bagaimana
caranya bekerjasama dalam kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar
melakukan transisi secara efisien.
Guru membimbing
kelompok-kelompok belajar yang memerlukan bantuan atau kelompok yang
mendapatkan kesulitan dalam mengerjakan tugas mereka.
Guru
mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari dengan cara
masing-masing kelompok mempersentase
kan hasil
kerjanya.
Guru mencari
cara-cara untuk mengahargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan
kelompok.
|
6. Model pembelajaran
GIFTS setting kooperatif
a.
Pengertian model pembelajaran GIFTS setting
kooperatif
Perlu untuk mendefinisikan
dengan tepat apa yang dimaksud dengan gifts
atau yang biasa kita kenal dengan istilah gifted.
Istilah “gifts” biasa digunakan untuk
menunjuk anak-anak yang menunjukkan skor yang lebih tinggi secara signifikan di
atas skor rata-rata untuk tes-tes kemampuan. Gifts dapat bersifat umum, meluas ke berbagai pelajaran sekolah,
atau bersifat spesifik, terbatas pada bidang tertentu seperti matematika.
Murid-murid semacam ini akan meraih prestasi tinggi pada pelajaran tersebut. Dalam
pembelajaran, model ini mempunyai langkah-langlah sebagai berikut :
1)
Membentuk kelompok yang anggotanya terdiri 4 sampai 5 orang.
2)
Guru menyajikan pelajaran.
3)
Salah satu dari anggota kelompok tersebut bertindak sebagai mentor bagi
teman-teman dalam kelompoknya.
4)
Anggota dapat bertanya, mentor memiliki hak untuk tidak menjawab bila
dia tidak yakin akan jawabannya dan guru dapat menambahkan komentar.
5)
Pemberian evaluasi untuk melihat hasil belajar kelompoknya.
Penerapan model pembelajaran GIFTS setting
kooperatif merupakan salah satu model yang dirasa cukup efektif untuk diterapkan
disekolah karena dapat meningkatkan efisiensi belajar peserta didik. Beberapa keuntungan dari aplikasi Model Gifts
yaitu :
1)
Meningkatkan efisien belajar.
2)
Menghindari kebosanan dalam belajar.
3)
Menghindari pengasingan dari teman-temannya yang kurang gifted.
4)
Meningkatkan efektifitas belajar.
Model
pembelajaran GIFTS adalah hasil duplikasi dari model pembelajaran Peer Teaching. Dimana hal yang
membedakannya adalah pada pemilihan sang mentor yaitu dengan memilih seorang
mentor yang gifted yang dianggap
mampu bertanggung jawab dalam memberi bantuan penjelasan kepada teman-temannya.
Proses pembelajaran perlu mendorong peserta didik untuk
mengkomunikasikan gagasan hasil kreasi dan temuannya kepada peserta didik lain,
guru atau pihak-pihak lain. Dengan demikian, proses pembelajaran memungkinkan peserta
didik bersosialisasi dengan menghargai perbedaan (pendapat, sikap, kemampuan,
dan prestasi) dan berlatih bekerja sama. Artinya, proses pembelajaran perlu
mendorong peserta didik untuk mengembangkan empatinya sehingga terjalin saling
pengertian dengan menyelaraskan pengetahuan dan tindakannya.
Model
GIFTS ini mempunyai beberapa pendekatan yang
bisa dilakukan dalam pembelajaran, yaitu:
1) Pengelompokan Kemampuan
Pengelompokan kemampuan
adalah membagi peserta didik berdasarkan tingkat kemampuan yang dimiliki oleh peserta
didik. Peserta didik yang mempunyai kemampuan lebih cepat menerima pelajaran
dipisahkan dengan peserta didik yang lambat menerima pelajaran.
2) Belajar Kooperatif
Belajar kooperatif adalah
membentuk peserta didik menjadi beberapa kelompok-
kelompok kecil yang
heterogen. Dengan tujuan agar peserta didik dapat bekerja
sama dalam menyelesaikan
suatu permasalahan.
3) Adaptasi Kurikulum
Adaptasi kurikulum adalah suatu proses
penyesuaian standar isi dari BSNP tanpa mengubah isi Standar
Kompetensinya. Standar internasional boleh ditambahkan sebagai
materi, KD , atau indikator secara tersendiri. Menyandingkan
standar isi (SK dan KD) dengan kurikulum internasional pada topik/materi yang
bersesuaian.
4) Tutor sebaya (Peer Tutoring)
Pendekatan ini pada dasarnya
merupakan suatu pendekatan yang bertujuan
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk berperan penting dalam proses
pembelajaran. Maka, pendekatan ini dapat memacu proses pengembangan motivasi,
kreatifitas dan keterampilan dalam menyampaikan informasi di depan
teman-temannya. Sehubungan dengan itu, pendapat mengenai
tutor sebaya adalah menurut pendapat Dedy supriyadi (Erman Suherman, 2001: 233) beliau mengemukakan bahwa tutor sebaya adalah seseorang atau beberapa orang peserta
didik yang ditunjuk dan ditugaskan unutk membantu peserta didik yang mengalami
kesulitan belajar. Tutor tersebut diambil dari kelompok yang presentasinya
lebih tinggi.
5) Mentoring.
Tugas mentor adalah untuk meningkatkan proses belajar yang disengaja
(intentional learning), termasuk
membangun kapasitas melalui metode seperti instruksi, coaching, memberikan pengalaman, modelling dan memberi
saran. Mentoring adalah
sebuah kerjasama. Mentoring yang sukses berarti membagi tanggung jawab untuk belajar, tanpa
memperhitungkan fasilitas, materi,
waktu, dan semua variable yang ada. Mentoring yang sukses dimulai dengan menentukan kontrak untuk proses
belajar, dimana mentor,
mentee, dan guru yang terkait ikut terlibat. Berdasarkan
pengertian diatas peneliti melakukan sedikit pengembangan dalam penerapan model
pembelajaran GIFTS setting kooperatif
yaitu pada tabel berikut:
Tabel.2.2.
Tahap-tahap model pembelajaran GIFTS setting kooperatif yang dikembangkan oleh
penulis.
Fase kooperatif
|
Fase model GIFTS
|
Aktivitas guru
|
Fase-3
Mengorganisasikan peserta
didik kedalam kelompok-kelompok belajar.
|
Fase-1
Perencanaan dan
Pengelompokan kemampuan
|
a.Guru memilih mentor
berdasarkan tingkat kemampuan tertinggi.
b.Guru membentuk 5
kelompok sebanyak 4-5 orang, dimana dalam satu kelompok masing-masing
ditempatkan satu orang mentor
|
Fase-1
Menyampaikan
tuju-
an dan
memotivasi peserta didik.
|
Pendahuluan
|
a.Guru menyampaikan
apersepsi.
b.Guru menyampaikan
tujuan pembelajaran.
c.Guru menyampaikan
motivasi.
|
Fase-2
Menyajikan informasi
atau materi pembelajaran
|
Fase-2
Guru menyajikan
informasi
|
a.Guru menjelaskan
materi pembelajaran.
b.Guru memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk menanyakan kembali materi yang
dimengerti kepada mentornya.
|
Fase-3
Mengorganisasikan peserta
didik kedalam kelompok-kelompok belajar
|
Fase-3
Peer tutoring dan mentoring
|
a. Guru membagikan
lembaran materi ajar.
b. Mentor memberi
bantuan kepada temannya hal-hal apa
saja yang mereka perlu ketahui.
c. Guru meminta
mentor bertanggung jawab kepada teman kelompoknya.
d. Guru membagikan
tugas pada masing-masing kelompok.
|
Fase-4
Membimbing kelompok
bekerja dan belajar
|
Fase-4
Latihan terkontrol
|
a. Apabila ada
mentor yang mengalami kesulitan dalam
kelompok, maka guru akan membantu.
b.
Guru mengawasi
jalannya pelajaran.
|
Fase-5
Evaluasi
|
Fase-5
Evaluasi
|
Memberikan latihan secara mandiri
untuk melihat hasil belajar peserta didik.
|
Fase-6
Memberikan
penghargaan
|
Penutup
|
Guru memberikan penghargaan dengan melihat sejauh mana
keberhasilan mentor dalam membantu teman kelompoknya.
|
Berikut ini adalah bagan penerapan
model pembelajran GIFTS setting kooperatif:
Keterangan:
Mentor :
Peserta didik yang mempunyai tingkat kemampuan yang lebih tinggi
1, 2 : Peserta didik berkemampuan sedang
3, 4 : Peserta didik berkemampuan kurang
|
b. Kekurangan dan kelebihan model pembelajaran GIFTS
setting kooperatif.
Menurut Pernone Karshner
(Masri Kuadrat, 2009: 94) kelebihan Model pembelajaran GIFTS setting
kooperatif yang dikembangkan oleh
peneliti adalah:
1)
Meningkatkan efisien belajar.
2)
Menghindari kebosanan dalam belajar.
3)
Menghindari pengasingan dari teman-temannya yang kurang gifted.
4)
Meningkatkan efektifitas belajar.
5)
Peserta didik yang mempunyai pengetahuan di atas teman
yang lain (mentor), akan lebih mampu mentransfer pengetahuannya kepada sesama
teman dan
melatih peserta
didik untuk menjadi pengajar yang baik.
6)
Peserta didik dapat lebih mudah memahami materi, karena
keadaan kelas reguler dapat diminimalisir.
7)
Peserta didik yang bertindak sebagai mentor, dengan adanya
metode ini akan semakin meningkatkan pemahaman peserta didik tersebut akan
materi yang ada.
8)
Peserta didik yang bertindak sebagai mentor akan terlatih
kemampuan verbalnya.
Menurut Nur Yasser
(2011: 49) yang sebelumnya pernah menggunakan model pembelajaran GIFTS setting kooperatif, menemukan beberapa
kendala yaitu:
1)
Metode ini banyak menyita waktu, namun dapat
diminimalisir oleh perencanaan yang tepat oleh guru.
2)
Membutuhkan kesadaran diri peserta didik.
3)
Peserta didik yang bertindak sebagai mentor bisa saja
mendapat perlakuan yang kurang baik dari temannya, namun hal itu dapat di
kontrol oleh guru.
4)
Tidak semua guru mau menerapkan metode ini, karena
banyaknya tahap-tahap yang harus dilalui.
c.
Kaitan antara model GIFTS dengan pembelajaran matematika.
Model GIFTS dengan pembelajaran matematika
memliki keterkaitan dalam pembelajaran matematika yaitu pada hasil belajar dan
aktivitas peserta didik. Dengan menerapkan model pembelajaran
GIFTS setting kooperatif maka diharapkan agar masalah yang timbul dalam
pembelajaran matematika dapat diatasi karena model GIFTS setting kooperatif,
merupakan solusi yang peneliti rasa paling tepat sehingga nantinya diharapkan
dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik.
Model pembelajaran GIFTS setting kooperatif diterapkan dalam
pembelajaran agar peserta didik dapat memaksimalkan potensi akdemiknya atau
mengoptimalkan struktur kognitfnya dalam membangun/mengkonstruksikan pengetahuannya
sendiri, dengan demikian memori jangka pendek dan memori jangka panjang akan
bekerja secara simultan dan bersinergi, sehingga akan diperoleh retensi yang
sangat baik, yang terminalnya tentu saja dapat memperbaiki kualitas
pembelajaran matematika.
B.
Kerangka Berpikir
Dalam proses pembelajaran matematika, ketika suasana
pembelajaran tidak menyenangkan, kurangnya peran serta peserta didik dalam proses pembelajaran dan kurangnya tanggung
jawab peserta didik dalam mengikuti pembelajaran, maka tentunya akan timbul masalah yang berujung pada kurang maksimalnya
pencapaian hasil belajar peserta didik yaitu hasil belajar peserta didik rendah. Dengan demikian, untuk mengatasi masalah
tersebut tentunya diperlukan suatu penelitian tindakan kelas agar dalam pembelajaran akan tercipta suasana belajar yang menyenangkan dan dapat meningkatkan keaktifan peserta didik selama proses
pembelajaran.
Salah satu solusinya yaitu dengan menerapkan model pembelajaran GIFTS setting
kooperatif. Dalam menerapkan model
pembelajaran GIFTS setting kooperatif guru mula-mula memilih peserta didik
berdasarkan tingkat kemampuannya. Kemudian guru membentuk kelompok dimana
masing-masing untuk setiap satu kelompok ditempatkan masing-masing satu mentor
yang bertujuan untuk membantu teman kelompoknya yang mengalami kesulitan dalam
memahami materi. Dalam
penerapkan model pembelajaran ini guru akan
membentuk suasana belajar kelompok yang santai dan memacu proses
pengembangan motivasi, kreatifitas dan keterampilan dalam menyampaikan
informasi di depan teman-temannya sehingga proses pembelajaran terasa lebih santai dan menyenangkan sehingga dapat meningkatkan
hasil belajar peserta didik.
Skema Kerangka Berpikir Peneliti
C.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian pustaka
dan kerangka berpikir yang diuraikan, maka rumusan hipotesisnya sebagai
berikut: “jika diterapkan model pembelajaran GIFTS (The Guidance Institute For
Students) dengan
setting
koooperatif maka hasil belajar matematika peserta didik
kelas X.2 MAN 2 Parepare dapat meningkat”.
RIWAYAT HIDUP
Ana mardiana, lahir pada tanggal 02 Juli 1990 di desa Masolo 1, Kabupaten pinrang. Anak ke ke empat
dari enam bersauadara, buah hati dari pasangan sederhana ayah Muhammad Thahir
Moha dan Ibu Sumiara. Adapun jenjang pendidikan yang pernah penulis lalui
adalah: Alumni Sekolah Dasar di MI DDI
Masolo 1 pada tahun ajaran 1996/1997 dan tamat pada tahun ajaran
2002/2003. Kemudian melanjutkan jenjang pendidikan di SLTPN 1 Leppangeng pada
tahun 2003 dan selesai pada tahun 2005. Kemudian penulis masih melanjutkan
pendidikan di MAN Pinrang pada tahun 2005 dan mengambil program IPA dan selasai
pada tahun 2008. Semasa SMA Penulis juga aktif dalam organisai sekolah seperti
pramuka, TIM redaksi mading dan KIR (Kelompok Ilmiah Remaja), dan organisasi
luar sekolah seperti Organisasi Pencinta Alam. Selanjutnya penulis melanjutkan
jenjang pendidikan di Universitas Muhammadiyah Parepare (UMPAR) pada tahun 2008
pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Study Matematika, Program Strata Satu (S1) kependidikan. Dan
alhamdulillah sekarang ini telah berhasil menyusun tugas akhir dengan judul ”Penerapan model pembelajaran GIFTS setting Kooperatif
dalam meningkatkan hasil belajar matematika peserta didik kelas X.2 MAN
2 Parepare” sebagai prasyarat
guna mendapat gelar sarjana.
Lumayan buat referensi toh...????
BalasHapus